sambungan...
Airmata makin deras menetes. Sungguh, inilah perpisahan yang saya rasa paling berat dalam hidup saya selama ini. Padahal tiga minggu adalah waktu yang sangat singkat. Tapi ternyata mampu meninggalkan jejak yang begitu dalam...
“Mbak...” isak Afira. “Boleh cium pipi Mbak Aida?”
Saya mengangguk. Airmata kembali membasahi pipi-pipi kami.
Kemudian, Nabiha berpamitan dengan saya. Saya memeluknya erat. Sungguh, Nabiha adalah pribadi yang sulit untuk saya lupakan. Pendiam, tapi punya pemikiran yang cemerlang. Saya ingat nasihatnya di Batang, saat kami berkumpul, membentuk lingkaran besar dan berdiskusi mengenai apa yang sudah kami dapat selama R2J dan apa yang akan dilakukan setelah kembali ke Malaysia. Ketika giliran Nabiha berbicara, ia berkata bahwa pemuda adalah ujung tombak bagi sebuah perubahan. Maka sepantasnyalah para pemuda aktif dalam dakwah karena masih mempunyai semangat yang besar, dan energi yang besar pula untuk ‘bergerak’. Mendengar nasihatnya itu, saya dibuat lupa bahwa Nabiha baru berumur 18 tahun. Mungkin remaja-remaja lain diumur 18 tahun tidak ada yang berpikir mengenai sebuah ‘perubahan’ apalagi berbicara mengenai sebuah pergerakan. Kebanyakan remaja berumur 18 tahun masih larut dalam dunianya masing-masing ; fashion, film, food, dan budaya Barat yang lain.
Dan saya bangga ketika hal tersebut tidak hanya dipikirkan oleh Nabiha, tapi juga seluruh peserta R2J dan para Aktivis Dakwah Sekolah yang pernah saya temui di sekeliling saya ataupun yang saya temui semasa R2J. Mereka adalah anak-anak yang masih sangat muda, namun punya visi ke depan. Tahu ke mana kaki mereka akan dilangkahkan dan tahu bagaimana perjuangan dakwah dilanjutkan...
“Di mana bumi dipijak, di situ kalimah Allah tegak,” bisik saya di telinga Nabiha sebelum akhirnya dengan berat kami melepaskan pelukan. Entahlah, apakah bisikan saya itu terdengar di antara hiruk-pikuk Bandara Soekarno Hatta...
Setelah Nabiha ada Ameerah. Saya tersenyum sesaat ketika saya hendak berpelukan dengan Ameerah. Sejak awal berkenalan dengannya, saya sangat menyukai Ameerah. Polos, dan selalu mengundang tawa. Saya tidak akan melupakan kebiasaannya membawa-bawa payung setiap pergi-pergi keluar. Dan payung yang dibawanya tidak dimasukkan ke dalam tas, tapi di pegang. Ia pernah berkata pada saya dan Amel bahwa Ibunya berpesan padanya sebelum ia bertolak ke Indonesia, agar payung ini dijaga baik-baik, karena katanya payung tersebut dibeli di Belanda. Setelah ia berkata begitu, saya dan Amel meledeknya bahwa Ibunya lebih khawatir pada payungnya, bukan pada Amee. Setelah itu, Amee merajuk dan kami berdamai lagi. Sungguh, saat itu kami hanya ingin bercanda dengan Amee.
Ada satu cerita lucu ketika kami di Batang. Saat itu pagi-pagi sekali dan sebagian besar dari kami berebut untuk masuk WC. Saya baru tahu kalau orang Malaysia menyebutnya jamban atau tandas. Di Indonesia, adapula yang menyebut jamban, tapi jarang sekali. Sementara tandas, dalam Bahasa Indonesia itu berarti habis.
Beberapa anak berkata saling mendului: “ana nak masuk jamban sehabis si ini...” atau “ana nak masuk jamban sehabis si itu...”
Sementara Amee, yang masih setengah terlelap dalam tidurnya, berkata dengan tenangnya : “Ana tak nak masuk jamban. Tak muat la ana masuk jamban...”
Sesaat, saya dibuat bingung. Barulah kemudian saya dan Amel tertawa. Ya, betul juga kata-katanya. Siapapun memang tak akan muat masuk jamban...
Berpisah dengan Amee berarti berpisah pula dengan segala keluguan dan kepolosannya yang menghibur kami...
“Maafin Mbak Aida ya Mee...” lirih saya.
Amee mengangguk. “Maafkan kami juga...”
Kami berpelukan cukup lama. Setelah kami melepaskan pelukan, kacamata Amee sudah berembun karena airmata.
“Mbak Aida suka pakai YM kalau chatting?” tanyanya polos.
Saya tersenyum. “Aku biasa pakai MIRC. Tapi nanti aku akan coba pakai YM. Kita harus tetap komunikasi ya...”
Dalam hati, ada lega menyelusup. Saya melupakan satu hal bahwa kami akan tetap berhubungan karena zaman sekarang, batas teritorial bukan lagi menjadi jarak yang begitu jauh terbentang. Ada handphone, fax, email, friendster, atau chatting melalui internet untuk menyapa sanak keluarga atau teman yang berada jauh dari kita.
Lagi, saya memeluk Amee. Mengusap kepalanya. Saya tidak akan pernah melupakan kelucuan-kelucuan yang dibuatnya...
“Mbak,”
Nisa menyentuh lengan saya.
“Akhirnya anapun menangis juga...” ujarnya.
Serta-merta saya memeluknya lagi. Tadi sebelum berpelukan dengan yang lain-lainnya, saya sudah berpelukan dengan Nisa’. Saat itu Nisa berkata : “Tak usah sedih begitu lah Mbak...Kita ‘kan akan jumpa lagi. Kita bisa berhubungan lewat friendster...”
Saya tertawa. “Akhirnya Nisa’ menangis juga ‘kan?”
“Habis, saya sedih lihat semuanya menangis...”
“Tetap semangat untuk berjihad!” bisik saya.
Ketika kami melepaskan pelukan, saya memandang wajah Nisa’ yang sangat oriental. Saya ingat, pertama kali saya mengenalnya ketika kami di rumah Mbak Nisa, sebelum kami berangkat ke Jogja.
“Nisa’ ada keturunan Chinese?” tanya saya waktu itu.
Sesaat, Nisa’ menampakkan wajah bingung. Lalu sejurus kemudian, ia tersenyum. Senyum khas yang membuat matanya bagai bulan sabit, melengkung.
“Ya,” jawabnya santun.
Sungguh, mungkin Nisa’ lah peserta akhwat R2J pertama yang saya kenal dan saya hapal namanya. Selain wajah orientalnya yang khas dan manis, juga tingkah-polahnya yang kekanak-kanakan. Saya menyukainya.
Waktu terus bergulir. Pesawat yang akan membawa para peserta R2J ini kembali ke tanah air mereka, Malaysia, akan mulai lepas landas pukul 4.45 sore.
Seandainya saya bisa menghalangi waktu sebentar saja...
Saya memeluk ‘Aina. Saya tidak akan lupa jumlah tempe yang dimakannya saat kami makan Mie Ayam di kedai kecil, di Batang (sungguh saya tak lupa. Tak ditulis di sini hanya untuk menjaga privasi ‘Aina. Hahahaha...xD). Dan ketika ‘Aina berkata—dalam suatu obrolan kami yang penuh keriangan, “Oh, ana kira ‘YAKETUNIS’ adalah sebutan untuk orang buta dalam Bahasa Indonesia!”
Saya tak kuasa menahan senyum mengingatnya.
Lalu saya berpelukan pula dengan Sumayyah.
“Maafkan Mbak Aida...”
Saya betul-betul tulus mengucapkannya.
Sumayyah, tahukah, di awal perkenalan kita, saya agak menghindar bersinggungan denganmu. Karena Sumayyah terkesan tidak menyukai saya—benar-benar sebuah prajudis yang tak mendasar. Maka maafkan saya...
Sudah menit-menit terakhir...Perasaan makin bergetar menahan emosi yang bercampur aduk. Saya tak kuasa lagi menghentikan airmata ini. Semua memori selama tiga minggu ini seolah dirangkai menjadi sebuah slide film yang diputar kembali—namun terputus-putus...
Saat kita berkereta di malam hari...
Saat kita berjalan dari Mardhiah ke Keraton...
Saat kita ke Yayasan Nurani Insani...
Saat kita ke Merapi...
Saat kita semua marah dengan Pak Rendra dan Pak Casudi karena tidak mau menjemput kita dari Asma Amanina ke Islamic Center...
Saat kita di Batang dan saling mencurahkan isi hati...
Saat kita mampir ke pernikahan Pak Kelly dan Bu Novi di Purwokerto...
Saat kita di Bandung, menyantap jus alpukat yang nikmat...
Saat outbond di Bogor ; kita mencoba free jump, waterboom, flying fox, dan pergi ke Curug Barong yang indah di mana peserta ikhwan menyanyikan lagu ‘Bingkai Kehidupan’ dari Shoutul Harokah...Nyanyian itu seolah masih terngiang hingga saat ini. Masih tersimpan apik dalam ingatan...Dan ada semangat menelusup dada bila mengingat syairnya...
Mengarungi samudra kehidupan, kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan tiada masa tuk berpangku tangan
Setiap tetes peluh dan darah, tak kan sirna ditelan masa
Segores luka di Jalan Allah, kan menjadi saksi pengorbanan
Allahu ghoyatuna, ArRasul qudwatuna, AlQur’an dusturuna,
AlJihadu Sabiluna, AlMautu fi sabilillah asma amanina...
Syaimaa, Asma’ Aminuddin, Asma’ Amatullah, Mardhiah, Nurul Nadhirah, Ulfah, Suhaylah, Nurin Syahidah, Wan Hafsah dan Siti Sakinah...Kalian semua juga mempunyai kenangan-kenangan tersendiri buat saya, yang tidak akan saya lupa, dan akan saya abadikan dalam prasasti hati...
Tiga minggu itu, saya belajar kesantunan Melayu yang semestinya saya punyai karena saya juga orang Melayu. Saya belajar mengenai kesetiakawanan yang tak pandang asal. Saya belajar untuk tak pernah surut dalam dakwah, karena kalian rela berkorban banyak hal untuk datang ke negeri dengan penuh keterbatasan ini demi dakwah. Saya juga dibuat sadar, bahwa R2J ini bukanlah suatu pembelajaran searah di mana hanya teman-teman dari Malaysia saja yang belajar kepada ‘kami’, tapi ‘kami pun banyak belajar dari kalian...
Semoga ukhuwwah kita tak pernah berakhir...
Tak apa bila kalian melupakan sosok saya. Karena saya yakin, kita tetap berada di jalan yang sama ; jalan menuju Ridho-Nya. Jalan yang mampu menyatukan kita—seluruh Muslim di dunia, baik kita kenali atau tidak.
Allahummanshur mujahidiina fi kulli makaan...
***
Jati Mekar yang sunyi-sepi,
27 Maret 2007
No comments:
Post a Comment