Friday, December 2, 2011

Mba Aida Hanifa: Remembrance (part 1)

Senin, 19 Februari 2007
Bandara Soekarno Hatta—Pukul 16.00


Rasanya baru kemarin saya berkenalan dengan semua. Rasanya baru kemarin kita makan rujak bersama-sama di rumah Amel, sebelum malamnya kita berangkat ke Jogja dengan kereta api kelas ekonomi yang bikin syok dengan bau tak sedap yang menguar di udara, dengan pedagang yang tak henti-hentinya menawarkan barang, dengan pengamen-pengamen tanggung yang bernyanyi dengan suara pas-pasan, dan peristiwa kecil yang terjadi di atas kereta api yang sampai sekarang masih jelas dalam ingatan saya. Yaitu ketika Azlan Shah dipaksa untuk membayar Rp. 20.000,- oleh seorang pedagang karena ia mencicipi kue yang dijual pedagang itu. Ya, peristiwa itu masih segar dalam ingatan saya. Seolah itu baru terjadi kemarin malam. Mungkin Azlan Shah tidak sadar, kalau saya yang duduk di kursi seberang memperhatikan peristiwa tersebut. Dan saya mohon maaf karena tidak bisa membantu.

Kini, saya sudah dihadapi oleh wajah-wajah sendu berurai airmata. Saya sendiri tak kuasa menahan tangis. Tiga minggu kebersamaan kami dalam Road To Jawa, telah menyisakan banyak kenangan yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. Bukan kenangan saja, tapi juga pelajaran-pelajaran berharga untuk diri yang fakir ini...

“Mbak Aida,” lirih Atiqah. “Maafkan ana apabila selama ini ada silap...”
Kami berpelukan. “Mbak Aida juga minta maaf...”

Seketika itu juga, ingatan saya kembali ketika kami di Bantul. Saya masih ingat, waktu itu adalah hari ke dua di Bantul, hari Ahad, 4 Februari 2007. Pagi-pagi, ketika semua peserta sedang jalan-jalan ke sawah, saya, Mbak Nisa, dan Amel, menemukan sebuah buku catatan bersampul warna hijau tergeletak di tengah ruangan tempat kita tidur di Pesantren Nurul Yaqin itu. Sungguh, saat itu tidak ada niatan jahat dalam hati kami. Kami ingin mengembalikan buku kecil itu ke tempatnya, kepada yang punya. Dan kami membuka buka itu untuk melihat, kalau-kalau ada nama yang tertera di dalamnya sehingga kami bisa mengembalikan kepada pemiliknya. Tidak kami duga, halaman pertama buku catatan kecil itu berisi curahan hati si empunya buku catatan. Dan isinya cukup membuat kami kaget. Ternyata si empunya buku ini telah kehilangan uang sebanyak dua juta rupiah dan sejumlah uang ringgit di atas pesawat ketika menuju ke Indonesia!

Sementara itu, di buku catatan itu sama sekali tidak tertera nama pemiliknya. Hal yang membuat kami bertanya-tanya adalah : kenapa si empunya buku ini tidak melapor pada panitia—pada kami, kalau ia kehilangan uang dengan jumlah yang sangat besar?
Rasa penasaran menyelimuti kami. Kami segera menghubungi Pak Casudi. Ternyata, Pak Casudi sudah mengetahuinya lebih dulu. Ia mengatakan ; “Atiqah yang kehilangan uang.”
Saya terkesiap. Sungguh, bukan hal yang mudah untuk merahasiakan hal tersebut sekian lama. Kalau saya ada di posisi Atiqah, mungkin rasanya saya mau menangis saja semalaman dan merasa kehilangan selera untuk terus mengikuti serangkaian acara Road To Jawa. Tapi Atiqah sama sekali tidak memperlihatkan kesedihan. Ia bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Riang seperti yang lain dan penuh senyum.

Sayapun bertekad untuk tidak membicarakan hal kehilangan ini pada Atiqah. Saya khawatir, bila saya membicarakan hal ini pada Atiqah, tidak lebih dari sekedar mengorek ‘luka’ yang hampir ‘sembuh’, sementara saya tidak bisa memberi jalan keluar apa-apa. Saya rasa, saya harus terus mendekati Atiqah. Lebih memperhatikannya, dan membuatnya merasa nyaman selama di Indonesia ini sehingga ia melupakan awal yang pahit itu tanpa mengungkit mengenai uangnya yang hilang.
Kemudian, saya teringat ketika Atiqah pingsan di Jogja Islamic Book Fair. Saya baru tahu kemudian kalau ternyata Atiqah sakit diarrhoa sejak lima atau enam hari yang lalu, yaitu setelah kami makan sup buah di UGM. Saya menyesali diri sendiri, kenapa saya lengah dan tidak memperhatikannya? Tapi di sisi lain, saya juga bertanya-tanya : kenapa—lagi-lagi—Atiqah merahasiakan ini pada kami?

“Mbak Aida, janji tak lupakan ana ‘kan?” ucap Atiqah patah-patah.
Airmata yang hangat mengaliri pipi. Saya mengangguk mantap. Dengan berat, saya melepas pelukan pada Atiqah. Selanjutnya, saya berpelukan dengan Afira.
“Jangan lupakan kami ya, Mba...” kata Afira. Bagaimana mungkin saya dapat melupakan kalian? “Maafkan segala kesalahan kami...”
Airmata mengambang di pelupuk matanya. Dalam isak, saya tersenyum.
Kemudian—tanpa diduga, Afira menyanyikan lagu ‘Selamat Tinggal Sahabatku’ yang dipopulerkan kelompok nasyid haroki Izzatul Islam. Saya ingat, ketika kami di Bandung, Afira meminta saya untuk menuliskan teks lagu tersebut. Sayapun turut pula menyanyikan lagu itu...Kami bernyanyi bersama...

Selamat tinggal sahabatku, ku ‘kan berjuang
Menegakkan cahaya islam, jauh di negeri seberang
Selamat tinggal sahabatku, ikhlaskanlah diriku
Iringkanlah doa restumu, Allah bersama selalu...

******

bersambung....

No comments:

Post a Comment